Selasa, 08 November 2016

KONSEP PENDIDIKAN
KI HAJAR DEWANTARA

KONSEP PENDIDIKAN
KI HAJAR DEWANTARA





Soerjadi Surjaningrat atau Ki Hajar Dewantara merupakan seseorang yang mendapat gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Hal itu diraihnya karena kiprahnya dalam menyusun dan merancang pendidikan nasional sebelum bangsa ini terlahir, merdeka dan membentuk negara. Dengan model Taman Siswa yang didirikannya pada 3 Juli 1922, kemudian menjadi fondasi dan rujukan dalam pembangunan pendidikan dan kebudayaan nasional. Beberapa prinsip dan dasar yang diterapkan menjadi suatu gagasan luhur dalam pembangunan pendidikan dan kebudayaan.
Kata kunci dalam konsep Ki Hajar Dewantara ialah karakter dan budaya yang menjadi akumulasi dari tujuan pendidikan itu sendiri. Sehingga karakter menjadi poin penting dalam penerapan pola tersebut.
Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dalam arti lainnya, dapat dimaknakan sebagai ‘huruf’. Sedangkan menurut (Ditjen Mandikdasmen – Kementerian Pendidikan Nasional), karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuatnya.
Dari pengertian di atas, karakter lebih menunjukan pada jatidiri setiap orang yang melekat dengan sifat atau wataknya. Dalam ilmu kimia, sifat dari suatu zat biasanya merupakan sesuatu yang kekal atau alamiah dan merupakan pemberian Tuhan. Sedangkan dalam konteks manusia, sifat melekat dengan jiwa atau ruh seseorang yang pada awalnya ditiupkan oleh Tuhan ke dalam jasad manusia. Sementara kata kebudayaan sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, Budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu diraih dari proses belajar.
Dengan demikian budaya dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal dan cara hidup yang selalu berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Ada pendapat lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya yang berarti daya dari budi. Sehingga Ki Hajar Dewantara menggagas pola hubungan antara budaya dan pendidikan sangat erat dan menjadi hal yang berkausalitas (sebab-akibat).
Dan budaya pun erat pula hubungannya dengan karakter seseorang, yang kemudian tujuan dari pendidikan ialah menajdikan seseorang yang berbudaya dan memiliki karakter baik. Sedangkan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.
Ki Hajar Dewantara mengartikan kebudayaan sebagai buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada akhirnya bersifat tertib dan damai.
Upaya kebudayaan dengan pendidikan dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan Teori Trikon, yakni: Kontinu, Konsentris, dan Konvergen. Kemudian dalam pelaksanaan pendidikannya dapat dilakukan di berbagai tempat yang oleh Ki Hajar Dewantara diberi nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu: 1) Alam Keluarga, 2) Alam Keguruan, dan 3) Alam Pergerakan Pemuda/Pengabdian Masyarakat. Ki Hajar Dewantara pun membagi lagi dengan istilah Pengajaran yang merupakan salah satu jalan pendidikan, yaitu suatu usaha untuk memberi ilmu pengetahuan serta kepandaian dengan latihan-latihan dengan maksud memajukan kecerdasan fikiran (intelek) serta berkembangnya budi pekerti. Ki Hajar Dewantara di bidang pengajaran meletakkan juga konsep-konsep dasar pengajaran meliputi: 1) Teori dasar-ajar, 2) Trisakti jiwa, dan 3) Sistem among.
Sistem Among adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem pendidikan Taman Siswa, dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingati dan mementingkan kodrat-iradatnya anak-anak, dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya. Oleh karena itu alat ”perintah, paksaan dengan hukuman” yang biasa dipakai dalam pendidikan zaman dahulu, harus diganti dengan aturan: memberi tuntunan dan menyokong anak-anak dalam bertumbuh dan berkembang karena kodrat-iradatnya sendiri, melenyapkan segala yang merintangi pertumbuhan dan perkembangan sendiri itu serta mendekatkan anak-anak kepada alam dan masyarakatnya. Perintah dan paksaan hanya boleh dilakukan jika anak-anak tidak dapat menggunakan kekuatannya sendiri menghindarkan mara-bahaya yang akan menimpanya, sedangkan hukuman tak boleh lain dari pada sifatnya kejadian yang sebetulnya harus dialami, sebagai buah atau akibat kesalahannya; hukuman yang demikian itu lalu semata-mata menjadi penebus kesalahan, bukan siksa dari orang lain (Tauchid, 1972:99-101 dalam 50 Tahun Taman siswa).
Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang, menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand”. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidak utuhan perkembangan sebagai manusia. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria, yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figur keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, dan keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, yaitu bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (Natural Law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Singkat kata, pendidikan merupakan perpaduan antara hukum alam (bakat) dan faktor rekayasa (ikhtiar manusia).
Maka, tujuan dari pendidikan untuk mewujudkan manusia yang berbudaya standar, dapat juga diukur dengan muncul dan tumbuhnya karakter kepemimpinan. Di mana dalam konteks tersebut, kepemimpinan merupakan standar nilai kebudayaan yang harus dicapai oleh setiap peserta didik. Ki Hajar Dewantara menterjemahkan karakter kepemimpinan dengan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso dan tut Wuri Handayani (pemimpin ialah seseorang yang berada di depan memeberikan suri tauladan, di tengah menggerakan semangat dan egaliter serta membangun kehendak, dan di belakang ialah memotivasi atau memberi dorongan bagi orang yang dipimpinnya). Sehingga tugas manusia sebagai pemimpin di muka bumi menjadi terasah dan berkembang guna mewujudkan keseimbangan hidup, serta mampu menegakkan kebenaran dan keadilan.
Jika hari ini pola tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan kita maka tidak mungkin terjadi krsisi kepemimpinan seperti saat ini. Dunia pendidikan kita saat ini pun mengalami karut marut dan ketidak jelasan pada tataran konsepnya. Tolok ukurnya dapat dilihat pada produk pendidikan itu sendiri di mana para lulusannya tidak mampu menggunakan ilmunya untuk kemaslahatan bangsanya dan semakin menjauhkan nilai kehidupan dari nilai Ketuhanan, merupakan bukti gagalnya pendidikan Indonesia saat ini. Sudah pasti, hal demikian telah melenceng jauh dari apa yang dikonsepsikan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita.

Sumber
http://nasional.sindonews.com/read/980100/162/memaknai-kembali-konsep-pendidikan-ki-hadjar-dewantara-1427086654
http://tanahairnews.com/2015/08/konsep-pendidikan-indonesia-menurut-ki-hajar-dewantara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar