Selasa, 08 November 2016

RESUME

Salah satu cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang termaktub dalam Pembukaan (Preambule) Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan merupakan komponen utama dalam pembangunan Negara kita ke depannya. Pendidikan merupakan ujung tombak dalam proses pembangunan negara dan arah Negara ini ke depannya tergantung pada arah pendidikan kita dan wajah-wajah anak didik kita saat ini.

Dalam batang tubuh Undang –Undang Dasar 1945 tersebut, yaitu di Pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa “Pendidikan merupakan hak warga Negara”. Sehingga tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan bagi setiap warga Negara di Indonesia merupakan milik Negara. Negara harus menjamin pemenuhan hak yang dalam hal ini adalah hak atas pendidikan tersebut. Negara harus menyelenggarakan serta menjamin pendidikan dalam setiap tingkatan baik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.

Permasalahan Pendidikan
 1. Filosofi Pendidikan
dalam implementasinya pendidikan seharusnya tidak sekedar mendidik seseorang dari sisi intelektualnya, akan tetapi juga kepribadian, etika, dan estetika dari dalam potensi diri si Pembelajar. Dengan bekal keseimbangan pribadi seperti itulah, peserta didik kita, diharapkan mampu menjadi agen perubahan (agent of change) untuk menciptakan arah pembangunan bangsa yang sesuai dengan prinsip-prinsip luhur bangsa Indonesia seperti yang disampaikan oleh para Founding Fathers.

Namun sayangnya arah pendidikan saat ini terlihat sangat jauh dari cita-cita para pendahulu. Pendidikan dewasa ini seperti menjadi komoditas dan dagangan saja. Institusi pendidikan (sekolah) yang berorientasi pada selera pasar tak ubahnya seperti menjadi pabrik pencetak mesin mesin manusia siap kerja namun miskin inovasi. Pendidikan kita yang hanya berorientasi pada hasil (yang dijawantahkan dengan nilai tertulis) tanpa memperhatikan prosesnya menjadikan hasil anak didik menjadi insan-insan yang hanya berorientasi pada hasil dan uang saja. Begitu pula akibat mahalnya biaya pendidikan yang ada menjadikan para orang tua mengharapkan bahwa biaya (investasi) yang mereka keluarkan untuk menyekolahkan anaknya haruslah kembali berlipat-lipat ganda, sehingga memaksa anak hanya berorientasi untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang besar tanpa lagi memikirkan hakikat pendidikan itu sendiri. Pun demikian dengan institusi pendidikannya sendiri, sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi berlomba lomba menjadi yang terdepan mempromosikan dirinya sebagai “mesin pencetak pekerja” yang paling unggul. Dengan adanya kebijakan Badan Hukum Pendidikan. Biaya pendidikan yang seharusnya ditanggung Negara diserahkan kepada masing-masing institusi pendidikan melalui biaya pendidikan yang selangit itu.Tentu saja permasalahan ini harus dicari solusinya bersama.
Sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan dan mencerdaskan karena para murid dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa dan guru dianggap tahu segalanya. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Tentu saja sistem pendidikan yang seperti ini sangatlah menyiksa dan hanya menindas para murid karena para murid hanya dipaksa menjadi objek pembelajaran tanpa memiliki kesempatan untuk berinovasi dan mengembangkan bakat serta kemampuannya sendiri.
Dengan mengacu kepada model pendidikan yang seperti itu, maka manusia yang dihasilkan oleh model pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap keadaan. Sehingga manusia-manusia yang dihasilkan adalah mereka yang apatis dan kekurangan empati terhadap keadaan sekitarnya.

2.         Pendidikan Dasar dan Menengah

Dapat kita lihat bersama, bahwa pendidikan nasional kita terutama pendidikan dasar dan menengah kita selama sepuluh tahun terakhir terpuruk. Keterpurukan ini terjadi karena berbagai macam kebijakan pendidikan yang abai terhadap nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip pedagogi-pembelajaran. Untuk itu, ada 3 hal fundamental yang bisa dilakukan oleh Pemerintahan yang baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Ketiga hal tersebut yaitu: permasalahan Kurikulum 2013, Ujian Nasional dan Keragaman di Sekolah Negeri. Apabila permasalahan dalam ketiga hal tersebut dapat diselesaikan maka harapan untuk Pendidikan Nasional yang lebih baik dapat kita capai.

The Learning Curve 2014, yang baru dirilis Pearson memposisikan Indonesia sebagai sebuah negara dengan sistem pendidikan terburuk, yaitu berada pada urutan terakhir dari 40 negara. menurut test PISA (membaca) dan TIMMS (Bernalar) posisi siswa Indonesia selalu jeblok (2003, 2006, 2009 dan 2012), sehingga kualitas siswa di Indonesia dapat dikatakan terbelakang apabila berkaca pada hasil assessment tersebut. Tidak berbeda jauh dengan kualitas siswanya, kualitas guru di Indonesia juga tergolong rendah. Berdasarkan penelitian World Bank (2012) kualitas guru Indonesia terendah (urutan 12 dari 12 negara Asia), bahkan hasil UKG hanya 4,3. Kualitas guru di Indonesia sangat memprihatinkan, banyak yang tidak pernah mengikuti pelatihan sehingga kualitasnya tidak ada peningkatan. Guru di Indonesia juga banyak yang pemalas dan mencari jalan pintas dalam mendidik murid-muridnya.

Prestasi buruk siswa dan guru di Indonesia tersebut seolah-olah didukung dengan hasil penelitian tentang sistem pendidikan di Indonesia yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan Indonesia terburuk bersama Brazil dan Meksiko berdasarkan Assesment Pearson (2012), bahkan di tahun 2014 Indonesia malah dibawah Brazil dan Meksiko. Pemerintah kita malah meresmikan kurikulum 2013 yang mereka sebut sebagai “obat” untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan yang terjadi. 

Kurikulum 2013 seperti yang kita lihat tidak pernah dapat mengklasifikasikan siapa itu guru, siapa itu murid dan hal yang lainnya. Secara materi dianggap materi pelajaranlah yang penting, padahal bukan hanya belajar materi yang penting namun belajar hal lain seperti pembentukan karakter juga penting untuk menjaga kualitas anak didik kita. Namun pemerintah hanya memaksa anak didik kita untuk belajar dengan buku dan materi tanpa melihat hal lain seperti pembentukan karakter tersebut. Parahnya mata pelajaran di seluruh Indonesia disamaratakan, anak didik di Jakarta mendapatkan pelajaran yang sama dengan di Papua. Padahal kita tahu bahwa, sarana dan prasarana tiap-tiap daerah berbeda serta konsep pendidikan tiap daerah berbeda, sehingga pemaksaan tersebut merupakan kesalahan yang sekali lagi dilakukan oleh pemerintah kita tanpa perhitungan.

Lebih jauh, Kurikulum 2013 sangat kacau dalam implementasinya. Sudah hampir setahun dari dilaksanakannya kurikulum ini namun distribusi buku pelajarannya masih belum terkirim dengan merata. Ditambah banyaknya pelajaran yang harus diambil oleh siswa tentu sangat membebani siswa, bukannya membebaskan mereka. Selain masalah-masalah tersebut, masalah lain yang tidak kalah pentingnya yaitu permasalahan Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional yang dijadikan tolak ukur penentu kelulusan malah mengakibatkan runtuhnya moral para siswa karena kecurangan UN semakin lama semakin sistemik dan massif, UN jugalah hanya menjadi ajang penghamburan uang negara karena hasilnya tak mengukur apapun dari kualitas pendidikan Indonesia, karena kecurangan yang terjadi tentu saja mengakibatkan lebih dari 90 % siswa pasti lulus, tapi sekali lagi hal tersebut membuktikan bahwa UN sama sekali tidak dapat mengukur apapun.

Pemerintah kita selalu melihat tolak ukur pendidikan dari hasil, bukan dari proses. Kemenangan di lomba-lomba (olimpiade, dll) dianggap menjadi tolak ukur pendidikan. Sehingga kita dapat melihat bahwa menang pendidikan kita semakin dijauhkan dari tujuannya, sejatinya pendidikan mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan, bukan membebani siswa dan menjadi momok bersama. Perlu ditekankan juga bahwa LBH Jakarta bersama jaringan advokasi yang melakukan penolakan terhadap UN (TEKUN) telah melakukan Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit) untuk menghapuskan UN dan dikabulkan hingga Mahkamah Agung. Namun pemerintah masih membangkang dan tetap mengadakan UN.


3.         Pendidikan Tinggi

Khusus untuk permasalahan pendidikan tinggi, selain daripada ketentuan dalam Konstitusi, ketentuan internasional juga menjamin pemenuhan akan hak atas pendidikan tersebut, hal tersebut termaktub dalam Kovenan Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) yang diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 Pasal 13 ayat 2C yang menyatakan bahwa “Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap”. Sehingga cukup jelas bahwa Negara dalam hal ini diwakilkan oleh Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi tersebut. Namun perguruan Tinggi saat ini tak ubahnya seperti perusahaan karena dikelola secara privat, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Seperti yang ada pada beberapa Peraturan Pemerintah yang muncul di tahun tahun 2000 yang mengesahkan Penerapan Skema Badan Hukum di Pendidikan Tinggi Indonesia (poin konsideran KUHPer), hal ini menjadi awal privatisasi kampus, baik di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta. Sehingga menyebabkan biaya pendidikan di perguruan tinggi menjadi sangat besar.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh aktivis dan para pemerhati pendidikan sebenarnya membuahkan hasil. Undang - Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan sudah dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi. Kutipan Putusan Pembatalan

UU BHP oleh MK tahun 2010:

“ … dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik.”
“Kewenangan institusi pendidikan untuk mencari dana secara otonom berpotensi melanggar hak atas pendidikan bagi peserta didik.”

“Otonomi pengelolaan pendidikan tinggi bukan merupakan sebuah keharusan dalam mencapai tujuan Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan dapat mengagalkannya.”

Sehingga sebenarnya, Mahkamah Konstitusi sudah secara jelas menyebutkan bahwa UU BHP itu sendiri telah melanggar hak atas pendidikan bagi para peserta didik yaitu mahasiswa. Namun, upaya tersebut mengalami ganjalan karena pemerintah memang tidak berniat untuk menghapuskan privatisasi pada kampus perguruan tinggi. IMHERE dari Bank Dunia di tahun 2010 bahkan menyebutkan perlu ada landasan hukum baru untuk praktik Badan Hukum, khususnya badan hukum pendidikan. Sehingga pemerintah kita yang latah malah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang masih berlaku sampai sekarang yang menjadi penguatan legitimasi hukum atas praktik privatisasi kampus ala Badan Hukum seperti pada UU BHP. Sehingga berlakunya UU Dikti sebenarnya tidak membawa perubahan yang signifikan bahkan UU Dikti memberikan legitimasi yang lebih kuat untuk praktik dan trend yang sudah berjalan sejak tahun 2000.

Berkaca dari hal yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa perjuangan mewujudkan kuliah murah menerima pukulan; mundur ke belakang dan biaya kuliah semakin mahal serta akses terhadap Pendidikan Tinggi menjadi semakin eksklusif. Banyak universitas menganggap tantangan yang dihadapi adalah dari luar bukan dari dalam. Perubahan itu memaksa universitas untuk mereposisi dirinya dari semula sebagai knowledge creationmenjadi knowledge production. Perguruan tinggi tidak lagi mengikuti Tri Dharma Perguruan Tinggi dan makin terpisah dari Negara. Universitas yang tadinya ada dalam level national state, yang seharusnya mengabdi pada kepentingan nasional sekarang berubah menjadi mengabdi pada kepentingan global juga.

Otonomi pendidikan tinggi hari ini adalah otonomi kelembagaan yang hanya dipahami secara instrumentasis dan teknis. Sehingga otonomi hanya dimaknai sebagai teknik-teknik manajerial dan perspektif kewirausahaan menjadi lebih mengemuka. Struktur pembentukan keputusanpun tidak lagi terdesentralisir melainkan hanya berada di tangan pejabat professional (rektor). Elit yang berkuasa dapat mengendalikan perguruan tinggi dengan sewenang-wenang dan melanggar kebebasan akademis.

Saat ini kebebasan berorganisasi di kampus menjadi sebuah formalitas semata saja di Republik ini. Sebagai contoh berikut beberapa kasus pembatasan demokratisasi di kampus:

1.      Drop out (DO) yang dialami oleh 6 mahasiswa Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) karena berdemonstrasi dan mengkritisi kebijakan kampus. Saat ini kasus mahasiswa Untag tersebut masih dalam proses gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
2.      Drop out (DO) mahasiswa Universitas Pancasila (UP) pada tahun 2013 setelah menjalankan kegiatan latihan kepemimpinan bersama organisasinya di dalam kampus.
3.      Drop out (DO) terhadap mahasiswa Universitas Nasional yang mengkritisi kebijakan jam malam kampus. Pimpinan mahasiswa yang diberhentikan dikaitkan dengan maraknya penggunaan narkoba di Universitas Nasional, padahal tidak bisa dibuktikan bahwa mereka positif menggunakan narkoba.

Apabila kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi di Pasal 77 yang mengatur tentang Organisasi Mahasiswa berbunyi;

1.                  Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan

2.                  Organisasi mahasiswa paling tidak memiliki fungsi untuk mewadahi, mengembangkan, memenuhi, dan mengembangkan tanggung jawab sosial.

3.                  Organisasi mahasiswa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 merupakan organisasi intra kampus


4.         Anggaran Pendidikan

Dapat kita lihat bersama bahwa anggaran pendidikan merupakan salah satu permasalahan krusial dalam penyelenggaraan pendidikan kita. Memang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita mengalokasikan 20 % anggarannya untuk digunakan di sektor pendidikan namun ternyata penggunaan anggaran tersebut tidak murni hanya digunakan untuk operasional dana pendidikan. Di dalam 20 % anggaran pendidikan tersebut juga sudah masuk anggaran belanja guru dan tenaga kependidikan untuk seluruh wilayah Indonesia juga anggaran pendidikan untuk sekolah kedinasan seperti Akademi Militer, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) juga ditanggung oleh anggaran 20 % APBN tersebut, bukannya ditanggung oleh institusi penyelenggara pendidikan kedinasan tersebut. Sehingga dana pendidikan untuk operasional institusi pendidikan umum menjadi semakin sedikit dan tidak bisa terserap dengan maksimal.

Belum lagi sudah menjadi rahasia umum bahwa anggaran pendidikan banyak dikorup terutama di tingkat pemerintah daerah, sehingga anggaran pendidikan yang benar-benar dapat dinikmati siswa menjadi sangat sedikit. Sehingga tidak heran, kualitas pendidikan kita begini-begini saja. Dengan sarana prasarana yang terbatas karena tidak pernah diperbaharui (akibat dikorup dan tidak maksimalnya dana pendidikan dikucurkan). Apabila permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut. Dapat dipastikan kualitas pendidikan kita tidak akan bertambah baik ke depannya.


5.         Tenaga Kependidikan

Solusi kunci yang dibutuhkan dalam memperbaiki pendidikan di Indonesia sebenarnya adalah membenahi guru dari hulu-nya (LPTK). Apabila guru berkualitas maka murid akan berkualitas, kalau guru dan siswanya berkualitas maka sekolah berkualitas, kalau sekolah berkualitas maka daerah berkualitas, dan kalau daerah berkualitas maka Indonesia akan lebih baik. Sehingga rumus kunci penyelesaian permasalahan pendidikan di Indonesia adalah pembenahan kualitas guru, seperti yang Ki Hadjar Dewantara pernah bilang “Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah guru yang tidak bisa mengajar”. Sehingga pemerintah haruslah memikirkan formula tepat untuk mencetak guru-guru handal yang dapat membawa murid-muridnya menjadi handal juga. Bukan guru-guru dengan pengetahuan seadanya yang juga hanya akan membawa muridnya memiliki pengetahuan yang seadanya.

            Guru seharusnya merupakan profesi yang diisi oleh orang-orang yang paling unggul dan pandai di bidangnya. Bukan oleh orang-orang sisa yang tidak mendapatkan tempat di bidang lain. Pola rekrutmen dan pendidikan bagi calon guru haruslah diperhatikan.

Di pendidikan dasar dan menengah masih banyak guru yang dipekerjakan dan dibutuhkan keahliannya namun masih berstatus honorer. Di perguruan tinggipun terdapat kecenderungan semakin meningkat jumlah tenaga kerja honorer dibanding yang tetap. Bagaimana mungkin menjadikan institusi pendidikan menjadi lebih baik lagi apabila kualitas diri serta kesejahteraan diri tenaga kependidikan tidak pernah diperhatikan. Pemerintah baru ke depannya harus dapat memformulasikan kebijakan yang tepat untuk menanggulangi permasalahan ini. Kondisi di perguruan tinggi diperburuk dengan banyak akademisi menjadi politikus karena perebutan jabatan-jabatan strategis di kampus.


C.  Rekomendasi

            Berkaca dari hal-hal yang sudah banyak disebutkan tersebut tentu saja kita dapat menarik kesimpulan dan rekomendasi kepada Pemerintahan Baru. Adapun rekomendasi yang dapat kita sampaikan yaitu:

1.                  Dalam Hal Pendidikan Dasar dan Menengah:

a.                  Hapus Ujian Nasional. Gunakan Ujian Nasional hanya digunakan untuk memetakan kualitas pendidikan di tiap daerah sebagai alat bantu pengembangan dan intervensi pendidikan berupa affirmative action bagi sekolah yang belum memenuhi standar nasional. Pemetaan pendidikan tidak harus dilakukan setahun sekali, dan tidak harus dilakukan di akhir tahun kelas. Kembalikan Kebijakan kelulusan pada sekolah dan guru sebagai pendidik sesuai dengan amanat UU Sisdiknas bukannya diserahkan kepada mekanisme Ujian Nasional yang sebagaimana kita ketahui sangatlah penuh kecurangan dan tidak sehat.
b.                  Ujian Akhir bersifat high-stakes untuk menilai kualitas pendidikan nasional dilakukan pada akhir jenjang sebelum siswa masuk ke Perguruan Tinggi. Ujian akhir ini hanya menguji hal-hal fundamental yang penting dikuasai setiap lulusan SMA sebagai modal pembangunan bangsa (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Sains). Ujian Akhir ini dilaksanakan oleh sebuah lembaga independen yang tidak berada di bawah kewenangan Kemendikbud secara otentik. Karena memang orang yang paling mengetahui kemampuan para siswa tentu saja guru-gurunya yang bersama mereka selama sekolah.

c.                  Hapus Kurikulum 2013. Pemerintah harus menerapkan kurikulum yang beragam sesuai dengan kebutuhan dan potensi setiap daerah. Pemerintah juga harus memperhatikan pengembangan kapasitas guru dan infrastruktur dalam penerapan kurikulum nasional. Guru harus menjadi perhatian yang utama dalam pembuatan kurikulum.



2.                  Dalam Hal Pendidikan Tinggi:

a.                  Pemerintah seharusnya melakukan penyegaran birokrasi di lingkungan Kemendikbud khususnya Dirjen Dikti. Birokrat-birokrat Dikti yang pro privatisasi kampus haruslah diganti supaya tujuan pendidikan tinggi tidak melenceng sebagaimana mestinya.

b.                  Lebih jauh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi haruslah ditinjau ulang dan dicabut, serta skema badan hukum di bidang pendidikan haruslah dihapuskan dengan demikian Pendidikan Tinggi yang Ilmiah dan Demokratis dapat terwujud.

c.                  Untuk menjaga kualitas kampus serta melindungi hak-hak warga Negara agar bisa mengenyam kuliah, Perguruan Tinggi seharusnya mewujudkan sistem penerimaan tunggal nasional serta sistem pembiayaan tunggal kampus.

d.                 Kebebasan akademik, kebebasan mimbar kebebasan berpendapat, berorganisasi di dalam kampus serta kebebasan akademik dan otonomi keilmuan mahasiswa haruslah dijaga dan difasilitasi oleh kampus. Diskriminasi dalam kehidupan berorganisasi di kampus harus dihapuskan, sebab mendirikan organisasi adalah hak mahasiswa yang harus dihargai dan dijamin.

e.                   Adanya kesinambungan antara pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Permasalahan Pendidikan Tinggi kita karena kita hanya mendapatkan residua atau ampas dari pendidikan dasar dan menengah. Energi mahasiswa sudah dihabisi di tingkat sekolah. Sekolah menguras energy dan menjadikan mahasiswa menjadi acuh terhadap pengembangan dirinya.


3.                  Dalam Hal Anggaran Pendidikan

a.                  Politik Anggaran 20% APBN untuk Pendidikan haruslah dijalankan dengan ketat dan Realokasi anggaran belanja pegawai dikeluarkan dari kuota 20%.
b.                  Pemerintah harus memaksimalkan penerimaan pajak untuk alokasi pendidikan.

c.                  Menyediakan anggaran setidaknya 80 Triliun rupiah untuk pendidikan tinggi dalam menjalankan mandate Pasal 13 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang mengarah ke cuma-cuma.


4.                  Dalam Hal Tenaga Kependidikan

a.                  Pemerintah bertanggungjawab mengembangkan profesionalisme guru melalui pelatihan dan pengembangan subjek ajar dan keterampilan pengajaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

b.                  Mengangkat guru dan tenaga kependidikan yang berstatus honorer untuk menjamin kualitas kerja dan kesejahteraan.

c.                  Menghapus sistem ketenagakerjaan layaknya swasta ataupun perusahaan, seperti sistem kontrak, outsourcing, dan sebagainya.


5.                  Dalam Hal Sistem Pendidikan Nasional

            Ubah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional merupakan akar dari berbagai persoalan pendidikan di Indonesia. UU tersebut cukup banyak diuji di Mahkamah Konstitusi dan banyak pasal yang sudah dibatalkan. Menyelesaikan berbagai masalah pendidikan dapat dimulai dari mengubah sistem pendidikan nasional. Pemerintah harus mampu melakukan assessment yang partisipatif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk mencari solusi bersama membangun system pendidikan nasional.



“Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir.”


(Ki Hajar Dewantara)



Sumber:
http://www.bantuanhukum.or.id/web/wp-content/uploads/2014/09/Permasalahan_Pendidikan_Serta_Rekomendasi_untuk_Pemerintahan_Baru.pdf

GURU UPDATE

GURU DAN TEKNOLOGI

Saat ini pengetahuan dan teknologi sudah maju pesat dan mempengaruhi semua bidang kehidupan. Pengetahuan dan teknologi khususnya komputer juga sudah merambat ke dalam dunia pendidikan. Dewasa ini kehadiran komputer di sekolah dapat mempengaruhi kecepatan dan ketepatan dalam pelayanan kependidikan bagi anak didik. Selain komputer, pembelajaran multimedia dengan menggunakan komputer, projector, dan LCD, CD pembelajaran, TV Edukasi bahkan electronic bookyang bisa diakses melalui internet, sudah masuk sampai di ruang kelas.
“Teknologi itu hanya pengubah kebiasaan”, hal yang sama disampaikan oleh Prof. Waldrip. Beliau menyebutkan penerapan teknologi dalam proses belajar-mengajar yaitu, mengubah cara mengajar, mengubah cara berinteraksi dengan siswa, dan mengubah harapan yang pengajar miliki untuk siswa. Kata kuncinya terdapat dalam kata mengubah. Dalam hal mengubah cara berinteraksi dengan siswa, Prof. Waldrip menyatakan, dengan mengubah cara penyampaian materi ajar dari menggunakan papan tulis menjadi penggunaan proyektor, penyampaian materi bisa lebih cepat dan menjadikan interaksi guru dan murid berkurang. Prof. Waldrip mengatakan, “Karena teknologi memiliki kemampuan terbatas berupa pemecahan masalah yang rasional. Ketika ada hal-hal yang irasional, manusia masih lebih unggul dalam menyelasaikan masalah.”. Dengan kata lain, peran para pengajar tidak akan tergantikan oleh teknologi, bagaimanapun teknologi itu berkembang semakin canggih.
Meskipun kemajuan teknologi pembelajaran sudah pada tahap yang cukup mencengangkan, namun kemajuan ini tidak dapat menggantikan fungsi dan peran guru dalam seluruh proses pendidikan anak. Manusia memang sudah hidup dalam dunia yang berteknologi tinggi tetapi secara psikologis pada kelompok anak-anak dan remaja usia sekolah tetap ada hasrat untuk mencari figur yang dapat mereka kagumi, hormati, dan bahkan meniru perilaku dan prestasi kehidupannya. Ada banyak alasan yang memperkuat peran strategis guru tidak bisa diganti atau diambil alih oleh media canggih apapun.
Pertama, alasan psiko-pedagogik. Guru dalam melaksanakan tugas keguruannya tidak hanya sekedar berperan untuk mentransfer ilmu kepada anak didik, karena peran ini sudah tidak populer lagi dan tidak sesuai dengan tuntutan pembelajaran modern. Ketika guru berperan hanya sebatas mentransfer ilmu, maka peran ini sudah bisa dengan lebih efektif diambil alih oleh media-media pembelajaran.
Guru dalam melaksanakan tugasnya diharapkan dapat menyajikan sebuah pembelajaran dengan suasana yang penuh kehangatan, keramahan yang dapat membuat semua siswa dalam kelasnya merasa nyaman untuk menyampaikan pendapatnya, mencoba sesuatu yang baru diketahuinya, merasa nyaman untuk berbeda pendapat dengan gurunya, termasuk penting juga merasa nyaman untuk melakukan kesalahan. Ruang kelas bukan saja tempat untuk belajar tentang sesuatu yang benar tetapi juga tempat untuk mencoba dan salah (try and error) supaya diperbaiki dan disempurnakan.
Pola komunikasi yang terjadi dalam pembelajaran yang disajikan oleh guru adalah sebuah pola komunikasi yang humanis karena komunikasi antara manusia dengan manusia yang lebih melibatkan suasana hati, rasa peduli, dan tenggang rasa yang tidak mungkin dialami anak didik ketika belajar dengan menggunakan alat-alat pembelajaran elektronik yang dingin, kaku dan tak punya perasaan. Seorang anak yang hanya dibesarkan dengan media pembelajaran elektronik, bukan tidak mungkin akan mengalami sedikit kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kecerdasannya dengan berinteraksi sosial tidak dikembangkan dengan baik. Keluwesan berkomunikasi dengan lingkungannya akan gagap.
Kedua, pedagogik moral. Guru sebagai pendidik juga bertugas untuk mewarisi nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan hidup untuk menjadi pegangan para siswa dalam menjalani hidupnya dikemudian hari. Pewarisan dan penanaman nilai-nilai kehidupan tentu tidak hanya diajarkan secara verbal searah sebagaimana yang bisa diperoleh melalui media pembelajaran elektronik, tetapi harus dikomunikasikan secara baik tidak hanya melalui ceramah dan pidato retoris tetapi terutama dan paling bermakna harus melalui contoh dan sikap hidup yang nyata. Mengajarkan dan mewariskan nilai-nilai hidup tidak hanya cukup dengan kata-kata tetapi harus dengan contoh dan teladan hidup.
Sebagai misal, mendidik siswa untuk tertib dan disiplin sangat tidak efektif kalau hanya dengan ceramah tentang tata tertib, apalagi menggunakan kekerasan, tetapi harus ditunjukkan dengan contoh perilaku yang tertib dan disiplin dari para guru. Seorang guru yang tidak tertib tidak akan pernah berhasil menertibkan anak-anaknya.
Anak didik pada usia remaja terkadang bingung bagaimana harus bersikap dan berperilaku. Oleh karena itu mereka sangat membutuhkan contoh perilaku orang dewasa yang positif sebagai referensi bagi mereka dikemudian hari ketika mereka memasuki dunia kehidupan orang-orang dewasa. Di sini guru tidak saja berperan sebagai pendidik tetapi juga berperan sebagai orang tua kedua. (the second parents) untuk menegaskan dan menguatkan kembali nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai moral, atau keutamaan-keutamaan hidup yang sudah disemai di rumah oleh orang tua mereka, karena para siswa yang dihadapi saat ini adalah calon orang tua di masa depan.
Sekolah-sekolah yang sudah menggunakan teknologi pembelajaran yang canggihpun tetap tidak bisa menyangkal bahwa guru masih memegang peran kunci. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia (N. Driyarkara, SJ). Pemanusiaan manusia muda pada sekolah-sekolah tidak bisa dilaksanakan hanya dengan mengandalkan teknologi. Malah sebaliknya dengan teknologi yang sangat terbatas sekalipun proses pemanusiaan manusia tetap masih bisa dijalankan, bahkan jauh lebih efektif kalau gurunya benar-benar berkompeten dan kreatif.
Menyadarai bahwa ternyata peran strategis guru tak dapat digantikan oleh teknologi canggih, maka bapak ibu guru harus merasa yakin akan pilihan dan keputusan hidupnya untuk menjadi guru. Dengan demikian para guru harus selalu berupaya untuk terus menerus meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi akademik, pedagogis, kepribadian, dan kompetensi sosialnya agar dapat menjadi guru yang handal sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zamannya.
Pemerintah sebagai eksekutor pembangunan di bidang pendidikan mesti berpikir tentang bagaimana memberdayakan guru-guru agar benar-benar ahli di bidangnya, dengan memberikan fokus perhatian yang lebih besar kepada upaya peningkatan kualitas para guru. Harus ada ruang dan kesempatan yang lebih luas diberikan kepada para guru untuk mengembangkan kecintaannya pada profesi dan panggilan nurainya untuk menjadi guru. Guru secara individual perlu didorong untuk terus menerus belajar dan dilatih melalui program-program in service training agar pembelajaran yang disajikan menjadi menarik, kreatif dan inspiratif. Selain itu pemerintah perlu memikirkan sistem yang dikemas sedemikian sehingga memacu guru untuk terus menerus belajar. Tentu ini sebuah sistem yang tidak menekan tetapi yang memberi rasa nyaman bagi para guru untuk mempersembahkan seluruh dirinya pada profesinya.
Pendampingan profesi guru oleh pengawas kiranya perlu dilaksanakan dengan lebih efektif dan sistematis sehingga dapat menjadi bantuan yang benar-benar memberdayakan dan memungkinkan guru untuk berkembang. Keberadaan para pengawas harus dirasakan lebih sebagai sahabat ahli bagi para guru. Kehadiran mereka semestinya dapat menjadi sumber inspirasi yang membawa kesegaran bagi guru. Dengan demikian ketika para guru menghadapi kesulitan dalam melaksanakan tugasnya, mereka tahu ke mana mereka berkonsultasi. Para pengawas juga harus diberdayakan, sebelum mereka memberdayakan para guru. Dengan cara ini para guru tidak dibiarkan sendirian dalam menjalankan tugasnya.
Guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan, meskipun perkembangan teknologi pembelajaran berkembang pesat , namun dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat multikultur peranan guru tetap dominan. Dalam proses pendidikan khususnya proses pembelajaran peran guru tidak dapat digantikan oleh teknologi. guru merupakan bagian integral dari sumber daya pendidikan yang sangat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan. Guru merupakan sebuah kunci dalam melakukan peningkatan mutu pendidikan. Guru berada pada titik sentral dari setiap usaha reformasi yang diarahkan pada perubahan-perubahan kualitatif.
Dari gambaran penting dan strategisnya peran fungsi guru di atas, maka kompetensi guru harus terus dikembangkan dari masa ke masa. Kemampuan mengajar dan mendidik harus terus diasah agar mampu dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Kepala Dinas Pendidikan OKI Iskandar ZA melalu Sekertaris Dedi mengatakan Kepribadian guru harus terus dimatangkan lebih baik sehingga guru mampu menjadi figur teladan bagi anak didik. Kecakapan sosial dan profesional menjadi pribadi yang mantap dan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Hal tersebut apabila dimiliki oleh setiap guru Indonesia pada umumnya dan kabupaten OKI khususnya maka pendidikan di Indonesia akan mempunyai kualitas yang sangat baik, karena sesuai dengan undang-undang Guru dan Dosen No. 14 Pasal 10 Tahun 2005. Ia menambahkan Peraturan menteri pendidikan nasional republik Indonesia nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Standar kompetensi guru ini dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.tuturnya
Dikatakanya Kompetensi utama guru akan sangat berpengaruh pada kesadaran guru terhadap tanggung jawabnya pada peserta didik. Tanggung jawab guru sebagai fasilitator peserta didik akan berjalan optimal apabila guru memahami kemampuan otak peserta didik dalam belajar. . Oleh sebab itu dalam mengajar guru dituntut untuk menggunakan media dengan berbagai warna, bentuk dan gambar serta metode pembelajaran yang kreatif dengan peran peserta didik langsung sehingga pembelajaran menarik yang memotivasi peserta didik untuk terus belajar dengan baik“peserta didik sebagai mitra (partner), suasana belajarpun harus mampu menciptakan keakraban”.terangnya lanjutnya menuturkan Dalam pembelajaran harus dapat memberikan inspirasi untuk memvasilitasi versi ini melalui kegiatan membaca, menulis dan berhitung. Selain ini metode tugas proyek pada peserta didik untuk memahami fenomena lingkungan sekitar dalam jangka waktu tertentu juga dapat memberikan rangsangan positif untuk mendatangan inspirasi pada peserta didik tuturnya. Dia juga berharap dengan kemampuan belajar peserta didik, guru mampu memaksimalkan kompetensinya untuk mengasilkan generasi yang handal dan berkarakter dengan menjadi fasilitator proses pembelajaran yang tepat.harapnya.
Karena peran guru tak tergantikan mestinya harus ada kebijakan dan komitmen yang kuat serta perencanaan yang sistematis untuk membangun pendidikan yang bermutu melalui upaya menciptakan guru yang sungguh bermutu. Guru yang bermutu pasti mampu menyelenggarakan proses pembelajaran yang bermutu dan dengan demikian out putnya pasti bermutu karena sudah melewati sebuah proses yang bermutu pula. Selama guru tidak diberdayakan dan difasilitasi untuk mengembangkan profesinya selama itu pula kita akan menyaksikan rendahnya mutu pendidikan.
Demikian sedikit tulisan saya smoga dapat bermanfaat dan memberi masukan bagi semua kalangan tentang pentingnya peran Guru dalam proses pengajaran. Dan hendaknya kita semua harus peduli dengan dunia pendidikan di Negara kita karena dilembaga itulah masa depan bangsa dan generasi penerus kita tercipta, bisa dikatakan warna bangsa ini tergantung lembaga pendidikan baik tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi.
TEORI KI HAJAR DEWANTARA
TENTANG PEMBELAJARAN

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
  1. Teori Pembelajaran Menurut Ki Hajar Dewantara
  1. Teori Konsep Pembelajaran
Pahlawan dan sebagai Pendidik asli Indonesia,Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.


Para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.
Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Semboyan dalam pendidikan yang beliau pakai adalah: tut wuri handayani. Semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Hanya ungkapan tut wuri handayani saja yang banyak dikenal dalam masyarakat umum. Arti dari semboyan ini secara lengkap adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik).
Ki Hajar Dewantara juga pernah melontarkan konsep belajar 3 dinding. Yang dimaksud belajar dengan 3 dinding bukanlah belajar dikelas dengan jumlah dinding 3 buah ( salah satu dari 4 sisi dinding tidak ada ), tetapi konsep tersebut mencerminkan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas dengan realita di luar.  Belajar bukan sekedar teori dan praktek disekolah, tetapi juga belajar menghadapi realitas dunia. Sekolah dan Dunia menurut konsep ini berarti tidak terpisah. Dengan itu diharapkan para guru mengajarkan ilmu teori serta praktek di dunia dan juga kepada siswa jika tidak sungkan-sungkan menanyakan apa saja hal yang tidak diketahuinya tentang dunia kepada guru mereka masing-masing. Tujuan dari konsep ini, agar para lulusan sekolah dapat mampu hidup dan bisa berbuat banyak setelah lulus dari sekolah.








  1. Pandangan Ki Hajar Dewatara Terhadap Pendidikan
Pandangan selanjutnya ialah Pandangan Ki Hadjar Dewantara Terhadap Pendidikan. Menurut beliau, pendidikan adalah upaya untuk memerdekakan manusia dalam arti bahwa menjadi manusia yang mandiri agar tidka tergantung kepada orang lain baik lahir maupun batin.
Ada beberapa falsafah yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, yaitu :
  1. Segala alat, usaha dan juga cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya.
  2. Kodratnya itu tersimpan dalam adat istiadat setiap masyarakat dengan berbagai kekhasan, yang kesemuanya itu bertujuan untuk mencapai hidup tertib dan damai.
  3. Adat istiadat sifatnya selalu berubah (dinamis).
  4. Untuk mengetahui karateristik masyarakat saat ini diperlukan kajian mendalam tentang kehidupan masyarakat tersebut di masa lampau, sehingga dapat diprediksi kehidupan yang akan dating pada masyarakat tersebut.
  5. Perkembangan budaya masyarakat akan dipengaruhi oleh unsur-unsur lain, hal ini terjadi karena pergaulan antar bangsa.



  1. Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain. Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.


Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya.
Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.


Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.


Kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.